Talamus.id – Presiden Joko Widodo dinilai sebagai sosok yang merakyat dengan gaya blusukannya. Akan tetapi, berbagai “sensasi” kebijakan dan polemik kebangsaan mulai menggeroti kepemimpinannya. Mulai dari kelangkaan minyak goreng, kenaikan bahan pokok, politik adu domba dan pembungkaman berpendapat serta deretan hal yang menuai sorotan publik.
Netizen pun kini membalikkan sosok merakyat itu dengan satire meras rakyat. Tanda pagar atau tagar merakyat meras rakyat #Merakyat_MerasRakyat jadi perbincangan hangat netizen Indonesia yang telah mencapai 9 ribu lebih cuitan, Senin 27 Juni 2022 pada pukul 17.00 Wita.
Imbas dari berbagai kebijakan seperti kenaikan PPN, tarif listrik, bbm, minyak gorek, penyesuaian iuran BPJS kesehatan dan lainnya yang kesemuanya itu dinilai tidak pro rakyatAkun @AndifaisalAbd menciutkan kalau tdk bisa memberikan pelayanan publik yg baik paling tdk jgn nambah kecemasan rakyat.
Selain itu akun @Chaa_Unk_Vr1 menuliskan jika banyak yang mengaku pemimpin merakyat tapi justru menjadi pelaku dan penikmat dari penderitaan rakyat hari ini.
“Banyak yang mengaku pemimpin, merakyat, sederhana, para jagoan, orang-orang hebat. Tapi semuanya bungkam atau justru mereka semua pelaku dan penikmat petaka hari ini,” cuitnya.
Dilangsir dari berita politik RMOL, Sabtu (28/5) Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule mengatakan jika persoalan bangsa Indonesia pada hari ini bertumpu pada dua hal. Yaitu kepemimpinan yang tidak pro rakyat dan kerakusan oligarki yang sudah tidak bisa dimaklumi.
Iwan Sumule mengajak masyarakat Indonesia untuk sadar bahwa oligarki saat ini tidak sebatas merampok uang negara. Kehadiran mereka semakin merugikan rakyat banyak lantaran ikut masuk ke dalam sistem dan sendi-sendi bernegara.
“Mereka ikut mengatur negara, sementara institusi penegak hukum tak berdaya,” ujarnya.
Dengan posisi yang masuk dalam sistem tersebut, oligarki kini leluasa merampok negara. Mereka dengan mudah bisa membangkrutkan negara dan tidak peduli jika cara yang dipilih sebenarnya telah menyengsarakan rakyat.
Iwan Sumule lantas mencontohkan investasi aneh PT Telkomsel ke GOTO (Perusahaan merger Gojek dan Tokopedia) yang mencapai 370 juta dolar AS atau setara Rp 5 triliun. Aneh lantaran harga saham GOTO terus anjlok hingga 50 persen lebih sejak IPO, bahkan sudah menyentuh angka Rp 194 per lembar. Dengan kata lain, investasi yang dilakukan Telkomsel berpotensi merugi.
Selain itu, sambung Iwan Sumule, ada juga audit Badan Pemeriksa Keuangan yang mengungkap kejanggalan dalam pengadaan alat tes antigen Covid-19 di Kementerian Kesehatan pada 2021. Nilai proyeknya sebesar Rp 1,46 triliun. Disebut janggal karena proyek “dikelilingi” sembilan perusahaan dan diduga menerabas banyak aturan.
“Jadi mereka tidak pernah berhenti, ada “skandal GOTO”, “skandal antigen”, dan skandal-skandal lain yang lambat laun terungkap,” tegasnya.
Sebagai aktivis pro demokrasi, Iwan Sumule tidak ingin demokrasi sebatas seremonial belaka, yang ditandai adanya pemilihan umum. Lebih dari itu, dia sedang memperjuangkan demokrasi substantif.
Artinya, perwujudan demokrasi tidak hanya berhenti dalam pagar istana, tapi pewujuduan demokrasi hadir dalam setiap kehidupan, yakni sampai ke piring-piring rakyat.
“Oligarki tidak bisa dimaklumi lagi, harus dilawan. Kalau tidak dilawan bisa semena-mena terus dan garong terus,” tegasnya.
“Kalau mau meningkatkan kualitas demokrasi, maka pilihan kita bukan pada seremonial demokrasi 5 tahunan,” demikian Iwan Sumule. []
Penulis: Syarif Kate