Hukum Wali Nikah dan Hak Kewarisan Anak Luar Nikah

Hukum Wali Nikah dan Hak Kewarisan Anak

Talamus.id, – Fenomena hamil di luar pernikahan ( non marital) beberapa tahun terakhir terus menjadi melonjak. Banyak sebab yang jadi faktornya antara lain: karna faktor pergaulan bebas yang semakin marak terjadi, perselingkuhan atau perzinahan serta kasus- kasus perkosaan yang terjadi. Imbas yang timbul pastinya bukan hanya pelanggaran batas- batas wajar kesusilaan, akan tetapi juga kehamilan yang akan dialami oleh pihak perempuan. Begitu pula dengan korban kasus perkosaan bukan cuma aib yang ditanggung, namun derita mengandung beban psikis seumur hidup serta lenyapnya beberapa kesempatan dampak aib diperkosa. Pastinya perihal itu akan memunculkan dampak yang harus ditanggung sendiri oleh pihak perempuan ialah trauma kejiwaan untuk korban pemerkosaan serta kehamilan yang tidak diharapkan untuk kedua kasus itu.

Beberapa kasus, pihak perempuan lebih memilih untuk menggugurkan kandungannya dari pada dia mesti menanggung perasaan malu baik di hadapan orang tua nya ataupun di hadapan warga umum. Akan tetapi tidak sedikit pula yang memilih buat mempertahankan kehamilan itu walaupun tidak ia harapkan dengan alasan ia tidak mau membunuh bakal anak yang tidak bersalah serta tidak mau terus menjadi menambah dosa baginya, cara melalui menggugurkan janin merupakan aksi yang tidak berperikemanusiaan, sebab usaha itu tidak bersumber pada alibi yang bisa dibenarkan menurut hukum.

Kehamilan di luar nikah akan melahirkan fenomena hukum, lalu gimana buat status anak itu? Karena kita tahu ia cuma mempunyai seseorang ibu serta terlahir tanpa seseorang ayah. Sementara itu anak yang sah adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang sah( vide Pasal 42 Undang- undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974). Kemudian, ketika dia besar nanti, apabila anak itu berjenis kemaluan wanita, siapakah yang berkuasa jadi walinya ketika dia menikah? Bagaimanakah hak kewarisan dari anak luar nikah? Pertanyaan- pertanyaan itu yang butuh jawaban di kemudian hari.

Menanggapi pertanyan- pertanyaan di atas, akan penulis jabarkan berdasarkan klasifikasi asal muasal pemicu timbulnya anak luar kawin berdasarkan kejadian atau peristiwa. Sebab masing- masing peristiwa mempunyai hukum yang berbeda- beda. Hal ini berdasarkan majalah As- Sunnah Edisi 10/ Tahun XIX/ 1437H/ 2016M yang diterbitkan oleh Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta yang disadur oleh penulis.

1. Apabila seorang wanita berzina kemudian hamil

Keadaan seorang wanita berzina ini dapat dikategorikan akibat pengaruh dari pergaulan bebas sehingga ia melaksanakan perbuatan yang melanggar batas- batas kesusilaan semacam melaksanakan seks non marital( di luar nikah). Berdasarkan kesepakatan ulama, anak yang terlahir bersumber pada hasil dari hubungan sexual non marital, maka status anak itu nantinya dinasabkan sebagai anak ibu dan tidak dinasabkan pada ayah biologisnya.

Hubungan dengan ayah biologisnya terputus, termasuk secara hukum kewarisannya. Beliau hanya berhak memperoleh dari ibunya serta sebaliknya, ibunya berhak mewarisinya.

Kemudian yang berhak jadi orang tua nikah ketika dia menikah nantinya adalah wali hakim, sebab beliau tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya.

2. Apabila terjadi sumpah li’ an antara suami dengan istri

Pengertian sumpah liàn merupakan sumpah yang dilakukan oleh suami serta istri dengan nama Allah yang disebabkan suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anak yang dikandung ataupun dilahirkan oleh istrinya sebagai anak kandungnya dimana suami tidak memiliki saksi atas tuduhan itu, sedangkan istri menolak tuduhan itu.

Umumnya hal ini terjadi karena suami berprasangka ataupun menuduh kalau istrinya selama pernikahannya masih berlangsung dengannya pernah main mata serta melakukan perbuatan zina dengan pria lain alhasil menyebabkan kehamilan. Ataupun bisa saja karena suami betul- betul mengenali kalau istrinya sudah main mata serta bercabul dengan pria lain akan tetapi beliau tidak mempunyai fakta ataupun saksi, sebaliknya istri melawan dakwaan kalau kehamilannya disebabkan perzinahan itu.

Sehingga dalam perihal ini, suami- istri itu wajib melakukan sumpah li`an, yang mana suami melafalkan sumpah sebanyak 4 kali buat mengukuhkan tuduhannya serta istri melafalkan sumpah sebanyak 4 kali buat melawan dakwaan suami, diiringi keduanya melafalkan sumpah kelima yang isinya bila beliau berbohong hingga laknat Allah bersamanya. Selanjutnya suami istri wajib berpisah selama- lamanya serta tidak bisa rujuk ataupun menikah kembali.

Status dari anak yang dilahirkan pada kondisi ini adalah dinasabkan pada ibunya karena suami mengucapkan sumpah li`an dan tidak mengakui anak tersebut sebagai anaknya. Sehingga hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak tersebut.

Mengenai wali nikah anak perempuan tersebut nantinya adalah wali hakim.

3. Apabila istri melakukan hubungan sexual dengan laki-laki lain saat pernikahan masih berlangsun

Adalah suatu keadaan dimana istri melakukan hubungan sexual dengan laki-laki lain, baik diketahui maupun tidak diketahui suaminya hingga mengakibatkan ia hamil.

Berdasarkan hadist sahih riwayat Imam al-Bukhâri, no. 6749 dan Muslim,    4/171 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam hadits yang panjang disebutkan bahwa :“anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).

Kejadian ini berbeda dengan sumpah li`an karena dalam hal ini suami mungkin saja tidak mengetahuinya, atau bisa saja suami mengetahui tapi ia enggan mengadakan sumpah li`an. Sehingga dalam hal ini, status anak yang lahir nantinya dinasabkan kepada suami yang sah, bukan kepada lelaki selingkuhan istri.

Sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak perempuan tersebut nantinya adalah ayahnya (suami dari ibunya). Kemudian karena masih dinasabkan kepada ayahnya maka anak perempuan tersebut berhak mewaris dari ayah ibunya dan begitu juga sebaliknya.

4. Apabila seorang wanita berhubungan sexual di luar nikah, kemudian hamil dan dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya.

Adalah suatu keadaan dimana seorang wanita yang belum menikah, ia berhubungan sexual dengan laki-laki sampai ia hamil. Kasus ini hampir sama dengan point         nomor 1, perbedaannya dalam kasus ini laki-laki yang berhubungan sexual dengannya mau bertanggungjawab menikahinya.

Dalam kasus ini, status anak yang nantinya lahir dinasabkan kepada ibunya karena dalam kasus ini tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman hadist seperti no 3, karena suami istri tersebut menikah setelah istri hamil duluan, bukan sebelum hamil. Meskipun demikian laki-laki tersebut tetap dapat dikatakan sebagai bapak biologis anak tersebut, akan tetapi tidak dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya.

Oleh karenanya, yang berhak menjadi wali nikah ketika anak perempuan tersebut menikah adalah wali hakim, karena statusnya hanya sebagai anak ibu sekalipun bapak biologisnya menikahi ibunya. Hanya saja yang membedakan dengan kriteria nomor 1 adalah anak perempuan tersebut secara hukum tertulis, dalam akta kelahirannya nantinya dicantumkan nama ayah dan ibu. Hal ini berdasarkan Kompilasi hukum Islam yang menyatakan secara eksplisit sebagai berikut :

Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam

  • Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
  • Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
  • Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir

Sehingga berdasarkan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam yang harus difahami adalah keabsahan nikah hamil, tetapi tidak berdampak pada anak yang diakibatkan nikah karena hamil. Anak yang dihasilkan dari nikah hamil tidak serta merta include dengan nasab orang tuanya. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya nasab dalam Islam yang hanya bisa diperoleh melalui jalan pernikahan.

Terkait hak kewarisan, karena hanya dinasabkan kepada ibunya, anak perempuan tersebut hanya dapat saling waris mewaris dengan ibunya.

5. Apabila seorang perempuan melakukan hubungan sexual non marital kemudian hamil lalu menikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya

Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Adapun kedua pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

  • Pendapat pertama mengatakan boleh dan halal dinikahi. madzhab Imam Syafi’i rahimahullah dan Imam Abu Hanifah rahimahullah beralasan bahwa perempuan tersebut hamil karena hubungan sexual non marita bukan dari hasil nikah, padahal kita sudah ketahui bahwa menurut syara, tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil hubungan sexual non marital, sebagaimana beberapa kali dijelaskan di atas. Oleh karena itu halal bagi lelaki lain itu untuk menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan anaknya. Hanya saja, imam Abu Hanifah menyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan.
  • – Pendapat kedua mengatakan haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan. Inilah yang menjadi madzhab Imam Ahmad t dan Imam Malik t . Dan madzhab yang kedua ini lebih kuat daripada madzhab pertama dan lebih mendekati kebenaran.

Status anak yang lahir nantinya dinasabkan pada ibunya saja. tidak kepada lelaki yang menzinahi dan menghamili ibunya dan tidak pula kepada lelaki yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkan.

Sehingga yang berhak menjadi wali nikah ketika anak perempuan tersebut nanti menikah adalah wali hakim. Kemudian hak kewarisan hanya timbul antara anak dan ibu.

6. Apabila anak terlahir dari akad nikah yang fasid atau batil

          Yang dimaksud akad nikah yang fasid atau batil adalah akad nikah yang diharamkan syariat atau salah satu rukun nikah tidak terpenuhi sehingga menyebabkan akad nikah tidak sah, misalnya : menikah dengan mahram, saudara sepersusuan, istri bapak atau anak atau mertua atau dengan anak tiri yang ibunya sudah digauli, nikah mutàh, nikah dengan lebih dari empat wanita, nikah tanpa wali, dan sebagainya.

Dalam kondisi ini, dikategorikan menjadi :

  1. Apabila keduanya, suami-istri tidak mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tetap dinasabkan kepada suami sehingga suami berhak menjadi wali nikahnya dan hak kewarisan timbul olehnya.
  2. Apabila keduanya, suami-istri mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut hanya sebagai anak ibu sehingga yang berhak menjadi wali ketika anak tersebut menikah adalah wali hakim dan hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak.
  3. Apabila hanya suami yang mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepadanya sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak tersebut adalah wali hakim dan hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak.
  4. Apabila hanya istri yang mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tetap dinasabkan kepada suaminya sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak tersebut adalah suami dan hak kewarisan timbul olehnya.

Selanjutnya apabila ayah biologis dari anak luar kawin yang tadinya tidak mau             bertanggungjawab, kemudian hari ia ingin mengakui anak tersebut secara hukum dan ingin namanya tertera dalam akta kelahiran anak tersebut, maka apakah ia dapat mengajukan permohonan  ke muka pengadilan agama agar pengakuannya tersebut dapat dianggap sah secara hukum?

Dalam kondisi ini, ayah biologis dari anak luar pernikahan tidak dapat mengajukan permohonan ke pengadilan agama, karena anak yang terlahir oleh karenanya adalah anak hasil hubungan sexual non marital, sehingga hanya dinasabkan kepada ibunya saja. Begitupun secara hukum, anak tersebut berstatus sebagai anak ibu sehingga dalam akta kelahiran anak tersebut hanya dapat tercantum nama ibunya saja, meskipun di kemudian hari ayah biologisnya mengakuinya. Sekalipun ayah biologis tersebut tetap mencoba mengajukan permohonan ke muka pengadilan agama, kemungkinan besar akan ditolak oleh pengadilan agama.

Meskipun demikian, berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 yang  menyatakan bahwa“Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk : a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

Sehingga meskipun secara hukum, ayah biologis tidak bisa mendapatkan pengakuan secara hukum bahwa ia adalah ayah dari anak tersebut, ia masih bisa memberikan nafkah kepada anak tersebut dan memberikan harta waris melalui wasiat wajibah.

Berbeda dengan kasus anak yang terlahir di luar pernikahan yang sah secara hukum, dalam artian ini adalah anak hasil pernikahan siri / di bawah tangan seorang perempuan dan seorang laki-laki yang keduanya tidak terikat perkawinan yang sah dengan perempuan/laki-laki lain. Ayah biologis dapat mengajukan permohonan asal usul anak ke muka pengadilan agama untuk mendapatkan penetapan pengesahan asal-usul anak tersebut. yang dapat menimbulkan akibat hukum berdasarkan penetapan tersebut seperti hubungan nasab, perwalian dan kewarisan. Sehingga akta kelahiran anak tersebut nantinya dapat dicantumkan nama ayah dan ibunya.

(Niken Amboro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *