Oleh: Rizal Sukarman Daeng Lawa
TALAMUS.ID –Sejarah perjuangan kemerdekaan republik Indonesia adalah sebuah sejarah tidak singkat yang melahirkan banyak peristiwa peristiwa penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
Tentunya dalam merebut kemerdekaan di isi oleh banyaknya tokoh tokoh yang berperan penting dalam gerakan melawan penjajah seperti para tokoh pahlawan nasional kita Soekarno, Bung Tomo Jendral Sudirman, Pangeran Diponegoro dan Sultan Hasanuddin serta para pahlawan-pahlawan lainnya yang bersama-sama memperjuangakan kemerdekaan Indonesia.
Begitu pula dengan perjuangan kemerdekaan yang ada di bumi Polongbangkeng yang dalam rekam jejak sejarahnya banyak tokoh-tokoh yang sangat berperan penting dalam merebut kemerdekaan seperti dua tokoh pahlwan Nasional yang ada dibumi Polongbangkeng seperti H. Padjonga Daeng Ngalle yang menjabat sebagai Karaeng Polongbangkeng yang sekaligus sebagai dewan pelindung organisasi kelaskaran Lipang Bajeng yang ada di Polongbangkeng, dan Ranggong Daeng Romo’ yang menjabat sebagai Ketua atau panglima kelaskaran Lipang Bajeng.
Selain dari tokoh-tokoh pahlawan Nasional yang melakukan gerakan perjuagan masih banyak tokoh pahlawan yang ada di Bumi Polongbangkeng yang bersama-sama melakukan griliyah untuk merebut kemerdekaan Indonesia seperti salah satu tokoh yang Bernama Basullu’ Daeng Lawa yang dimana juga sebagai salah satu aktor yang berperan penting dalam geraka-gerakan griliyah yang juga bergabung dalam kelaskaran Lipang Bajeng sebagai Komandan kelompok VI Laskar lipang bajeng dan sebagai Pimpinan Algojo Laskar lipang bajeng.
Dalam sebuah rekam jejak sejarah Bumi Polongbangkeng memang terkenal dengan kekacauan dan pemberontakan pemberontakan yang dilakukan para rakyat pongbangkeng seperti para tokoh tokoh sebelumnya seperti I Tolo’ Daeng Magasing, Sumange Rukka dan para tokoh pemberontak yang ada.
Dalam struktur organisasi kelaskaran lipang bajeng dapat kita lihat pada struktur organisasi yang ada dibawa:
Pelindung : Padjongan Daeng Nglalle (Karaeng Polongbangkeng)
Dewan penasehat
Ketua : Makkaraeng Daeng Manjarungi
Anggota : Tarasi Daeng Bantang
Majadi Daeng Sila
Abdul Rahman (eks Haiho dari Jawa Barat)
Dewa Pengurus
Ketua : Ranggong Daeng Romo’ (syahid pada 28 Februari 1947 dan digantikan oleh Mappa Daeng Temba’)
Wakil Ketua : Mappa Daeng Temba, menggantikan ketua sesudah syahid, selanjutnya dia digantikan Makkatang Daeng Sibali.
Penulis I : Abdullah Saleh Tompo, Syahid pada 8 Agustus 1946, digantikan oleh Baso Daeng Matola, syahid juga pada 1947, digantikan oleh Muhammad Amin Daeng Nai.
Penulis II : Kamaruddin Daeng Pali’
Penulis III : Parenrengi (dari SengkangWajo)
Bendahara : Mappaseleng Daeng Sija
Bahagian Umum : Sirajuddin Daeng Bundu
Makkattang Daeng Sibali
Seksi Peneyelidik : Subair Daeng Tutu
Coko Daeng Nompo’
Seksi Penerangan : Noholang Daeng Nambung
Abd. Daeng Lassa
Seksi Ketentaraan : Muhammad Jalal Daeng Leo
Abdul Wahab Daeng Ngerang
Seksi Sosial : Muhammad Yasin Daeng Limpo
Simo Daeng Bilu
Seksi Perlengkapan : Sirajuddin Daeng Bundu
Ince Muhammad Ali Daeng Rowa
Seksi Kemakmuran : Ahmad Dahlan Daeng Sibali
Dewakang Daeng Tiro
Seksi Wakil Rakyat : Makkattang Daeng Sibali
Abdul Razak Daeng Tompo
Seksi Kesehatan : Emmi Saelan
Maulwi Saelan
Komandan Pasukan
Komandan Kesatuan : Ranggong Daeng Romo’
Sesudah syahidnya digantikan oleh Mappa Daeng Temba
Kepala Staf : Mappa Daeng Temba, Sesudah menggantikan Ranggong Daeng Romo digantikan oleh Makkattang Daeng Sibali
Komandan Operasi : Muhammad Dinar Syah
Muhammad Jalal Daeng Leo
R. Endang
Makkattang Daeng Sibali
Songrong Daeng Mangu
Dewan Pengurus Daerah
Limbung Utara : Baso Daeng Tappa
Sabarang Daeng Ngempo’
Limbung Selatan : Pattola Daeng Bali
Sultan Daeng Mile
Bontonompo Timur : Kende Daeng Sutte
Bontonompo Barat : Jamalong Daeng Roa
Galesong : Abdul Gani Daeng Toto
Bostam Daeng Mamajja
Sanrobone/takalar : Muhammad Arif Daeng Tutu
Panatara Daeng Maling
Malakaji : Abdul Rahman
Massusanna Daeng Ngalle
Kota besar Makassar diatur sepenuhnya oleh:
Syamsuddin Daeng Ngerang
Fahruddin Daeng Romo
Madinah Daeng Ngitung
Komandan Kelompok
Kelompok I : Zainuddin Daeng Nakku
Maso
Kelompok II : Sangkala Tinggi
Cangga
Kelompok III : Abdul Khalik Daeng Nyau
Saharang
Kelompok IV : Dammang Daeng Lalla
Saelong
Kelompok V : Tuan Nguse
Makkatang Daeng Sikki
Kelompok VI : Basullu Daeng Lawa
Mangaweang Daeng Nulung
Kelompok VII : Sapi Daeng Nyikko
Bado Dende
Kelompok VIII : Tapa Daeng Ngawing
Colli Daeng Se’re
Kelompok IX : Sarro Kumis
Jalan Daeng Sarro
Kelompok X : Baso Daeng Tutu
Balutu Daeng Rewa
Kelompok XI : Ramallang
Pamulang Daeng Jarre
Kelompok XII : Muhammad Tayyeb Daeng Nyawa
Pacca.
Pada masa revolusi, keputusan-keputusan yang diambil oleh para toloq untuk mendukung atau menentang Republik sangat dipengaruhi oleh peran elit aristokrat, yang telah menjadi sekutu lama mereka. Apakah mereka membuat keputusan seperti itu atau tidak, toloq tetap melakukan perampokan, itulah yang diberikan revolusi mereka banyak kesempatan.
Ranggong Daeng Romo adalah salah satu elit yang terkait dengan toloq di Polombangkeng. Dia diam-diam menjalin komunikasi dengan kuat dan orang-orang pemberani dari berbagai daerah orang-orang cerdas yang berilmu medan hutan – dengan tujuan akhir membentuk badan pertempuran.
Dia memprakarsai pertemuan di Paggentungan pada akhir September 1945 yang dihadiri oleh perwakilan toloq dari Moncongkomba, Lantang, Cakura, Bulukunyi, Bontokadatto, Barana, Pattallassang, Bone-Bone, Sompu dan Bajeng. Mereka diberi tempat duduk sesuai dengan daerahnya masing-masing. Wakil dari Pattallassang dan Sompu menghadap dari barat ke timur; mereka dari Cakura dan Bulukunyi menghadap dari timur ke barat; yang dari Bonto Kadatto, Bone-Bone dan Barana menghadap dari selatan ke utara; dan yang dari Moncongkomba dan Lantang menghadap dari utara ke selatan.
Ranggong Daeng Romo berbicara terlebih dahulu dan bertanya kepada mereka yang hadir apakah mereka hadir bersedia menjadi algojo (algojo). Awalnya tidak ada yang bersedia, namun, perwakilan dari Moncongkomba, Basullu Daeng Lawa, saat itu mengangkat tangan. Akhirnya semua toloq yang hadir setuju untuk menjadi algojo. Dari pertemuan inilah yang menjadi asal mula istilah ‘Moncongkomba yang teguh pendirian’ (Moncongkomba Gassing Gau), kampong bajeng kembarnya (butta bajeng kambara’na) Bontokadatto tumappaentenga Pokena (Bontokadatto yang memegang tombak)
Ini menghasilkan organisasi toloq bernama Algojo Polombangkeng (Algojo Polombangkeng). Itu organisasi ditempatkan di garis depan dan bertugas mengeksekusi mereka yang dianggap pengkhianat. Dengan terbentunya organisasi algojo Polongbangkeng Ranggong Daeng Romo sebagai Panglima laskar lipang bajeng memerintahkan pemimpin Algojo Polombangkeng, Basullu Daeng Lawa, untuk mengeksekusi orang-orang yang dicurigai menjadi mata-mata Belanda.
Awalnya, rombongan hanya sekedar menjaga sungai penyeberangan yang berfungsi sebagai perbatasan Moncongkomba. Mereka menginterogasi siapa saja yang lewat, dan kalau mereka dicurigai sebagai mata-mata Belanda maka akan di rampok atau di eksekusi. Dan kemudian para algojo mulai melancarakan gerakanya dengan melakukan aksi terror yang dicurigai sebagai mata-mata NICA . Dan ancaman penyiksaan terhadap mata-mata disebarkan dalam bentuk pamflet. Dan kekerasan meningkat ketika tentara Belanda membangun pos-pos militer Palleko dan Pappa pada Januari 1946.
Semua yang berasal dari kedua daerah yang sekarang dicurigai sebagai mata-mata. Kekerasan Algojo Polombangkeng juga meluas ke desa-desa di luar Polombangkeng ketika mereka memaksa pemuda untuk bergabung dengan Gerakan Muda Bajeng. Mereka kemudian mulai merampas ternak dan harta milik warga biasa. Seorang penduduk dengan empat hewan-hewan tersebut akan disita dua di antaranya. Ratusan ekor sapi diamankan selama bulan-bulan terakhir tahun 1945 berkumpul di sebuah lapangan di desa Jannang. Sebagian hasil jarahan kemudian diserahkan kepada para pejuang gerilya di hutan.
Tantangan serius pertama Algojo Polombangkeng datang saat Siratu Daeng Manompo, sang gallarang Moncongkomba ditunjuk oleh nica, menarik saudaranya Hamanja Daeng Leila dan pengikutnya dari Gerakan Muda Bajeng. Di antara mereka adalah toloq yang kemudian menyebabkan gesekan di lapisan bawah masyarakat sebagai pejuang pro-nica Bajeng. Orang-orang ini, juga disebut sebagai algojo. Mereka tidak segan-segan membunuh orang-orang yang mereka anggap sebagai pendukung pejuang Bajeng pro-Republik.
Diantaranya adalah nama-nama tenar seperti Saelalla Daeng Naba, Batoto Daeng Tutu dan Nongko yang menjaga pos di Sungguminasa. Yang lainnya adalah Hamzah Daeng Tompo, pemimpin (paccalaya) persatuan desa di Kerajaan Gowa. Pasukan pro-nica khusus yang dipimpinnya di Borongloe memiliki banyak pengikut. Toloq Hamzah Daeng Tompo perlakuan yang sama dengan Algojo Polombangkeng karya Ranggong Daeng Romo sebagaimana yang terakhir telah dilakukan kepada orang lain. Beberapa individu memilih untuk bermain di kedua sisi. Mereka bekerja sama dengan Belanda pendukung tetapi diam-diam memasok makanan dan tempat berlindung kepada kelompok perlawanan. Mereka bisa menjadi informan tentara Belanda dan juga mata-mata Gerakan Muda Bajeng. Yang lain memilih untuk tidak terlibat sama sekali. Orang-orang dari Lassang kemudian menyatakan bahwa mereka telah setuju untuk bergabung dengan pejuang Bajeng namun tidak pernah mengambil bagian dalam kegiatan perlawanan. Bergabungnya mereka adalah cara untuk menyelamatkan diri dan menghindari sasaran perampokan.
Pada Januari sampai Maret 1946 setidaknya para pejuang gerakan muda bajeng melakukan kontak senjata dengan belanda sebanyak 18 kali, dari garakan tersebut pihak belanda melakukan serangan balasan dengan invasi dimarkas gerakan muda bajeng danmelakukan penangkapa kepada para pejuang. Dari kecurigaan yang dirasakan oleh pimpinan Algojo Polongbangkeng Basullu Daeng Lawa dengan segera memerintahkan para pasukanya untuk menyelidiki desa-desa yang dianggap bersekutu dengan Nica, seperti Sapaya, Manuju dan Pappa dan untuk kemudian ditangkap dan dibunuh yang dianggap bersekutu dengan Nica dengan jumlah pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah yang tidak diketahui banyaknya.
Dari gerakan tersebut yang dilakukan oleh Basullu Daeng Lawa atas pembantaian terhadap orang-orang yang bersekutu dengan Nica maka Basullu Daeng Lawa dijuluki oleh Nica sebagai The Mass Murderer (Sang Pembunuh Massal) dalam sebuah surat kabar. Dari setelah penyerangan markas gerakan muda bajeng itulah gerakanya sangat massif untuk melakukan terror dan pembunuhan terhadap warga desa yang bersekutu dengan Nica bahkan Basullu Daeng Lawa seringkali mengancam para pimpinan desa dan kepada desa untuk membinasakan separuh penduduk desa jika tidak memberikan aba-aba atau informasi ketika ada tanda-tanda kedatangan belanda, kekejaman yang dilakukanya itu bukan hanya saja masyarakat kelas bawa melankan juga para masyarakat masyarakat bangsawan yang dianggap berpihak kepada belanda diantaranya Manruppai Daeng Nyau yang baru saja diangkat menjadi Gallarrang Bontokadatto yang dibunuh dan dibakar rumahnya, dari pembunuhan itu Karaeng Manuju dan beberapa bangsawan lainya menimbulkan masalah internal di gerakan muda bajeng.
Dari kemarahanya itu dan banyaknya juga pengikut dari karaeng Manuju melemahkan posisi gerakan muda bajeng. Dari gerakan yang dilakukan oleh gerakan mudah bajeng itu atas banyaknya kematian atas warga biasa dan para bangsawan yang berujung pada kematian Kareng Manuju itu kemudian menimbulkan perseturuan antara kerabat dari karaeng manuju dengan algojo Polongbangkeng yang sempat membuat gempar Polongbangkeng.
Pada tanggal, 14 Januari 1946, Gerakan muda bajeng mengirimkan delegasi ke yograkarta untuk mendapatkan legitimasi perjuangan di Polongbangkeng sebagai bagain dari Republik Indonesia. Namun dalam perjalananya kapal yang ditumpangi terdampar disumbawa dan akhirnya kembali kepelabukan Jeneponto pada 7 Maret 1946. Dan pada saat itu Belanda sudah melakukan isolasi ketat di wilayah utara dan selatan Polongangkeng yang telah mereka duduki, yang berarti gerakan muda bajeng pada saat itu hanya dapat melakukan gerakan dari hutan-hutan dan gunung.
Sedangkan pada tanggal 24 Maret 1946 Belanda membombardir markas besar gerakan muda bajeng yang bermarkas di Bulukunyi dengan meriam. Dari serangan yang dilancarkan oleh Belanda itu kemudian melemahkan gerakan muda bajeng setelah para pejuang laskar ditangkap seperti Madina Daeng Ngitung, Syamsuddin Daeng Ngerang, dan Fahruddin Daeng Romo. Sedangkan disisi lain para bangsawan membelot ke Nica seperti, Punggawa Palleko, Hamandha Daeng Lala, Siratu Daeng Nompo, dan Lemo Daeng Lira.
Setelah penyerangan dari pihak belanda dan banyaknya pihak dari bangsawan yang membelok saat itu gerakan muda bajeng sudah dianggap tidak efektif lagi dan pada tanggal 2 April 1946 Ranggong Daeng Romo, Padjonga Daeng Ngalle dan Makkaraeng Daeng Manjarungi mengadakan kembali pertemuan untuk mengubah organisasi sebagai organisasi bersenjata yang disebut Laskar Lipan Bajeng, dari perubahan organisasi tersebut cakupan organisasi kelaskaran tersebut juga berubah dengan wilayahyang lebih luas yang mencakup, Polongbangkeng ke Gowa, Jeneponto, da bagian selatan Makassar dengan beranggotakan 17.257 orang.
Sedangkan rute lainya adalah jalan rahasia melalui hutan kaki gunung lompobattang, bulukunyi ke utara hinga Moncongloe dan Maros yang dimana rote ini dijuluki sebagai rute para bandit. Dengan jalur ini mempermudah berkomunikasi dengan para pejuang lainya seperti, Harimau Indonesia, Pusat pemuda nasional Indonesia (PPNI), dan KERIS (kebangkitan rakyat Indonesia Sulawesi.
Pada tanggal 29 Oktober 1946 para toloq yang setia dengan Pajonga Daeng Ngalle dan Ranggong Daeng Romo dan para toloq lainya melakukan pembakaran rumah para jemaat yang ada di Limbung setelah terbentuknya Negara Indonesia Timur yang kemudian semakin memperkeru keadaan dikalangan elite karaeng karena dianggap para kalangan yang sepakat dengan pembentukan Negara Indonesia Timur sepaham dengan Nica. Kebersamaan akan kecurigaan, pembunuhan dan pembakaran rumah terus berlanjut menanggapi pembakaran rumah Jemaah pada sekitar bulan Desember 1946 Lemo Daeng Lira membantu KNIL dan pasukan khusus Belanda untuk mengisolasi Lipan Bajeng. Pada saat itu banyak penduduk yang mulai menentang Laskar Lipan Bajeng seperti warga Borongloe di Gowa selatan ikut serta denga operasi KNIL tersebut seperti Hamzah Daeng Tompo ikut memerintahkan toloqnya untuk ikut membakar rumah-rumah orang-orang yang dianggap bersimpati pada Laskar Lipan Bajeng yang dimana dalam operasi tersebut mengakibatkan ratusan anggota Laskar Lipan Bajeng mengalami kematian.
Tanggal 25 Januari 1947, famplet militer diedarkan untuk mendesak penduduk menangkap Padjonga Daeng Ngale dan sebagain besar pemuda Makassar telah tertangkap seperti Wolter Mongisidi sedangkan Ranggong Daeng Romo meninggal setelah melakukan gencatan sejata di Ko’mara. Ketiga bulan antara Desember 1947 dan Februari 1947 beliau telah memimpin Lipan Bajeng tidak kurang dari 57 pertempuran dan Lapris 51 pertempuran. Setelah kematian Ranggong Daeng Romo hanya bebera unit yang tersisa yang dipimpin oleh, Mappa Daeng Temba, Makkatang Daeng Sibali, Basullu Daeng Lawa, Makkaraeng Daeng Manjarungi dan Daeng Leo.
Awal Januari 1948, pemerintah NIT membuka perundingan dengan Laskar Lipan Bajeng, menuntut pengakuan sebagai milisi Republik Indonesia dan bukan sebagai kelompok kriminal yang akan memberikan mereka kekebalan dari penuntut oleh pemerintah NIT. Ketika NIT setuju untuk syarat tersebut, sebanyak 160 pejuang Lipan Bajeng menyerahkan diri. Pada tanggal 8 Januari 1948 mereka menyerahkan diri diantaranya Makkaraeng Daeng Manjarungi, Macang Daeng Leo dan Algojo yang paling dicari Basullu Daeng Lawa. Namun para pemerintah NIT tidak sesuai dengan perjanjian tersebut sehingga para pejuang Laskar Lipan Bajeng diserahkan kepada KNIL yang membawa mereka ke Makassar di penjara Hoogepad di Makassar yang sekarang berubah menjadijalan Ahmad yani, bersama dengan 800 anggota milisi lainya.
Dari kegigihanya dan sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan dari Basullu Daeng Lawa kemudian namanya diabadika sebagai nama jalan yang ada pada jalan poros desa Moncongkomba Kecamatan Polongbangkeng selatan Kabupaten Takalar.
(arsip Belanda di penjara Hoogepad Makassar)
Ditulis ulang oleh:
Rizal Sukarman Daeng Lawa
Sumber penulisan:
Mustari Bosra, (2009). Lasakar lipan bajeng
Ahmad Taufik, (2014). Bandit dan pejuang: sejarah social politik masyarakat polongbangkeng (19051960-an). Makassar: Balai pelestarian nilai budaya.
Purwanto, Bambang, Roel Frakking, Abdul wahid, Gerry van Klinken, Martijin eickhoff, Yulianti, Ireen Hoogenboom. (2023). Revolutionary Worlds.