Oleh: Muhlis*
Talamus.id, – Petani selalu identik dengan sesuatu yang kotor, berlumpur, dekil, bau, serta miskin. Petani kita bagaikan bayi-bayi yang kekurangan asupan gizi, sehingga mereka tumbuh dengan kerdil, kalau makan harus disuap, tidak mampu untuk menyuap diri sendiri, pertanyaannya sekarang “kapan petani kita bisa berdiri tegak dan menyuap diri sendiri?”.
Dimana-mana kita diperhadapkan dengan masalah pangan, harga pangan melambung tinggi, bahkan sering muncul kekhawatiran kita akan kehabisan stok pangan, negeri kita sangat luas namun setiap tahun kita masih harus mengimpor beras, rebut beras, bahkan ada yang ditangkap KPK karena urusan beras, artinya kita membeli beras sementara kita berada di tengah sawah, Yang paling fatal, Negeri kita terkenal sebagai Negara agraris yang besar di dunia, namun setiap tahun kita selalu gaduh-gaduh karena masalah kekurangan beras sementara kita punya sawah (bugis : Paggalung), kekurangan bawang sementara kita menanam bawang, kekurangan kedelai dan kekurangan daging sapi sementara kita penggembala sapi (bugis : pakkampi capi), pepatah bugis mengatakan “pada balesu mate ilalengna lappo asewe”.
Rata-rata produksi sawah kita cuma antara 5 sampai 7 ton perhektar, sementara di negara-negara luar yang sudah maju teknologinya sudah mampu menghasilkan 14 ton gabah kering dalam satu hektar, hal ini menandakan bahwa sentuhan teknologi terhadap para petani kita masih kurang sehingga mereka selalu susah untuk meningkatkan hasil panen, masalah yang lain adalah masalah terbatasnya lahan yang dimiliki oleh para petani yang ada di daerah pedalaman sementara negara kita termasuk negara yang sangat luas, namun rata-rata petani kita cuma memiliki lahan seluas 0,5 sampai 2 hektar. Sehingga pendapatan para petani kita sangat rendah bahkan menjadi petani identic dengan kaum gurem.
Coba dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Australia rata-rata petaninya memiliki lahan minimal 10 hektar ditunjang dengan teknologi yang tinggi sehingga petani sangat maju (pekerjaan jadi petani menjadi suatu kebanggaan) karena hasil yang didapatkan memang luar biasa, petaninya bisa makan di café bersama dengan walikota atau gubernur karena mereka memiliki dana yang memadai dari hasil pertanian mereka, tapi coba bandingkan dengan petani di negeri kita yang kaya raya ini, petani jangankan makan di dalam café, tahu letaknya café saja mereka tidak tahu, ini merupakan parameter betapa susahnya kehidupan kaum tani di negeri kita ini. Belum ada satu pihakpun yang memberikan penghargaan yang luar biasa bagi kaum tani. Padahal begitu besar jasa petani. Tetapi sepertinya mereka tidak sadar akan hal itu. Tidak hanya petani bahkan.
Masyarakat sekalipun mungkin tidak memahami bagaimana petani, para pahlawan pangan, membantu kita untuk bertahan hidup. Ini dibuktikan dengan sikap orang-orang yang menganggap rendah petani, banyak orang yang tidak peduli akan keberadaan mereka. Jangankan dihargai sebagai pahlawan pangan, bahkan para petani diidentikkan dengan kaum yang termarginalkan dalam hiruk pikuk pembangunan bahkan banyak kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap kaum tani, namun berdasarkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbaru pada kuartal II-2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,18 persen dan sektor pertanian memberi sumbangan terbesar dibandingkan sektor yang lainnya. Untuk tahun 2022 kuartal I sektor tanaman perkebunan memberikan kontribusi 37,32%, tanaman pangan 28,59%, peternakan 17,62%, tanaman hortikultura 14,41%, jasa pertanian 2,06%.
Hal ini menandakan sektor pertanian masih memiliki nyali yang sangat besar dalam pembangunan Indonesia, dan perlu didorong agar industry pertanian bisa terus dikembangkan.
Petani kita selalu miskin, pendapatannya tidak pernah naik-naik, karena hasil yang didapatkan dari hasil panennya tidak bisa laku di pasar global, coba kita bandingkan tomat yang diproduksi oleh petani kita mungkin 20 biji baru bisa kita memproleh berat 1 kg, jadi susah bersaing dipasaran moderen sementara petani diluar, misalnya Jepang sudah bisa memproduksi 1 biji tomat dengan ukuran bisa 2-4 kg, makanya kita selalu kalah di pasaran, tomat yang diproduksi dari luar negeri pasarannya di mall dan swalayan, sementara tomat yang diproduksi oleh petani kita cuma mampu menembus pasar lokal saja seperti pasar terong, pasar kalimbu, pasar pa’baeng-baeng dan lainnya, makanya petani kita selalu loyo, dan hal ini seakan dibiarkan begitu saja.
Kemudian kalau kita melihat komoditi sektor perkebunan seperti cengkeh dan kakao, produksi kita melimpah namun petani kita cuma bisa menikmati ampasnya saja. Negara Singapura terkenal dengan produk-produknya yang berbahan coklat (kakao) bahkan menjadikan kakao eksport andalan, tapi disana, satu pohonpun kakao tidak ada, “bahan baku itu diambil dari mana ??”, itu semua didapatkan dari hasil kerja petani kita seperti daerah Luwu, Soppeng, Bone, Sinjai dan Bulukumba, petani kita cuma mendapatkan harga yang sangat murah, karena petani cuma mampu menjual barang mentah saja, belum ada sentuhan industry hulu. Kemudian Komoditi cengkeh, kita selalu mendapatkan daun cengkeh itu berserakan begitu saja dibawah pohonnya, hanya dianggap gulma dan kotoran pengganggu, padahal daun cengkeh ini bisa disulin untuk mendapatkan minyak atsiri yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, namun karena terbatasnya pengetahuan dan minimnya sarana maka potensi ini dibiarkan begitu saja oleh petani tanpa mereka menyadari bahwa hal ini bisa bernilai rupiah.
Pemerintah belum menyiapkan sarana agar industry hulu didekatkan dengan petani sehingga petani bisa meningkatkan kesejahteraannya.
Berdasarkan data, kebutuhan kedelai di dalam negeri rata-rata 2 juta ton/tahun sementara petani dalam negeri cuma mampu memenuhi 600 ribu ton saja. sementara sisanya harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, ini artinya petani kita tidak bergairah karena mereka merasa tidak ada jaminan harga terhadap hasil panennya, petani selalu tertipu dengan permainan harga (petani masih terauma dengan hukum alam “kalau produksi sedikit harga menjadi tinggi tapi ketika produksi melimpah harga menjadi anjlok), kalau didaerah bugis biasanya identik dengan para pedagang pengumpul atau diistilahkan dengan permainan aji-aji yang selalu menerapkan sistem ijon yang berdampak pada kerugian petani.
Petani kita selalu didesak dengan kebutuhan keluarga sehingga petani selalu butuh uang sebelum datangnya masa panen. Kalau butuh uang petaninya mau lari kemana? Kalau ada anggota keluarga petani yang sakit, dapat uangnya darimana? Kalau ada keluarga petani ingin menikah dan butuh uang panai, dapat uangnya darimana? Langkah paling praktis yang ditempuh oleh petani ketika menghadapi masalah-masalah seperti ini adalah dengan jual hasil panen sebelum waktu panen (ijon), menggadaikan kebun atau bahkan menjual kebun, akibat langkah praktis ini maka melahirkan problem baru bagi petani.
Petani mendapatkan harga yang tidak sesuai karena sudah diijon (ada pemotongan harga sesuai perjanjian dengan para tengkulak karena ambil uangnya sebelum waktu panen), menimbulkan utang baru karena hasil panen tidak mencukupi untuk membayar utang ijon, maka untuk menutupi harus berutang kepada pedagang yang lainnya, lahan olahan menjadi sempit karena terjual atau tergadai, lahirnya pengangguran yang tidak kentara, karena pernikahan tanpa ada keahlian sementara lahan olahan sudah dijual untuk dijadiakan uang panai. Seharusnya pemerintah jeli melihat hal ini, dan menyediakan lembaga pendonor atau lembaga dana talangan buat petani agar petani jangan terdesak terus ketika menghadapi masalah seperti ini.
Saya mengutip pendapat dari Prof. Ambo Ala (Guru besar Fakultas Pertanian Unhas), Sektor pertanian penuh ketidakpastian dan resiko kegagalan tinggi akibat musim atau iklim yang seakan susah diprediksi. Kita banyak mengikuti berita atau informasi kegagalan panen akibat kekeringan atau banjir, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan akibat bencana alam seperti longsor, banjir dan puting beliung seperti kejadian yang terjadi beberapa bulan lalu di Desa Palangka terdampak angin putting beliung yang mengakibatkan tumbangnya puluhan pohon tanaman cengkeh yang produktif ataupu petani yang tidak mampu lagi bertani karena usia yang sudah tua atau sakit.
Kegagalan panen, dan dampak kebencanaan lainnya hanya menjadi musibah yang seluruhnya ditanggung oleh petani. Dari pantauan di lapangan di Desa Palangka Kecamatan Sinjai Selatan Kab. Sinjai yang dilakukan oleh penulis, seorang petani tua yang berumur sekitar 70 tahun bernama saleng sehari-harinya selalu menyaksikan kebun cengkehnya dengan kegembiraan, karena cengkeh-cengkeh tersebut selalu memberikan hasil yang sangat besar. Dari informasi yang didapatkan dalam kebun tersebut terdapat pohon cengkeh sekitar 25 pohon dengan kapsitas produksi rata-rata 100 liter atau satu juta rupiah perpohon, namun karena kondisi cuaca yang tidak menentu karena pengaruh la nina yang berkepanjangan sehingga pohon cengkeh tersebut tidak berbuah selama 3 tahun terakhir dan yang paling menyedihkan lagi adalah pada akhir tahun 2021 beberapa pohon dari cengkeh cengkeh tersbut tumbang akibat puting beliung sehingga membuyarkan semua harapan sang petani tua tersebut. Sekarang petani tersebut harus menanggung semua akibat bencana alam. Lain lagi dengan kisah petani yang bernama akbar berusia 46 tahun. Sang petani ini mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk mengembangkan porang sejak tahun 2019 sampai sekarang.
Pada tahun 2019-2021 harga porang sangat primadona dan diburu para petani untuk dikembangkan. Oleh karena itu petani tesebut sudah menanam beberapa petak porang dikebunnya, bahkan sempat menjual motornya untuk membeli bibit porang. Namun ditahun 2022 harga porang anjlok sangat drastis sehingga mengakibtakan sang petani merugi dan tidak tahu bagaimana lagi cara untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini. Inilah yang selalu terjadi dan silih berganti yang dialami oleh petani di desa ketika komoditi kurang maka harga naik, namun ketika produksi meningkat harga sudah tidak ada.
Fenomena harga komoditi bukan cuma terjadi pada porang tapi hampir semua komoditi seperti porang, cengkeh kakao (coklat), vanilli, merica dan lainnya. Kemudian kalua kita lihat komoditi seperti cabai, bawang. Untuk kondisi sekarang cabai harganya melonjok, tapi pengalaman sebelumnya kadang harga cabai tiba-tiba anjlok ketika petani sudah menanam sehingga petani merugi lagi. Inilah kondisi yang selalu dialami oleh petani yang silih berganti. Kehidupan para petani bagaikan perjudian dan pertarungan yang selalu merugikan petani.
Dalam benak kita sebagai petani dan pemerhati petani akan memunculkan pertanyaan “Apakah realitas seperti itu akan kita biarkan terus terjadi, apakah resiko kegagalan harus menjadi beban para petani, apakah anjloknya harga porang dibiarkan sampai petani harus merugi, apakah vanilli, kakao, cengkeh, kopi, merica kita biarkan anjlok, Apakah pemerintah Daerah (Kabupaten dan Propinsi) atau pemerintah pusat tidak lagi memiliki kepekaan terthadap permasalahan yang dihadapi para petani.
Pemerintah seharusnya memiliki pandangan bahwa petani merupakan bagian dari masyarakat yang berperan penting dalam pembangunan pertanian. Oleh karenanya sudah seharusnya mereka menjadi subjek dari pembangunan pertanian, bukan sekedar objek. Agar mereka dapat menjadi subjek dalam pembangunan pertanian, mereka harus diberdayakan sehingga dapat menjadi sumberdaya manusia yang mandiri. []
*Penulis adalah Dosen Prodi Teknik Lingkungan STT – Nusantara Indonesia.